
*corresponding author
AbstractKitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang diratifikasi dari Het Herziene Inlandsh Reglement (HIR) Belanda memiliki suatu pasal khusus yang menjamin hak tahanan untuk dibebaskan demi hukum apabila masa tahanan telah berakhir. Ketentuan ini kemudian menjadi tanda tanya besar mengenai tata cara dan mekanisme koordinasi yang dilakukan antara Lapas dengan aparat penegak hukum yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaannya. Tahanan sebagaimana didefinisikan oleh Permenkumham No. 35 Tahun 2018 tentang Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan adalah tersangka atau terdakwa yang sedang menjalani proses peradilan dan ditahan di Rumah Tahanan Negara. Dalam prakteknya di beberapa kabupaten di Indonesia sendiri masih banyak Rumah Tahanan Negara yang belum dibangun sehingga mengharuskan Lembaga Pemasyarakatan untuk turut serta berfungsi sebagai lembaga atau tempat yang menjalankan fungsi pelayanan dan perawatan terhadap Tahanan. Petugas Lapas dituntut untuk tetap menegakkan dan memperhatikan perlindungan terhadap hak asasi manusia, asas praduga tak bersalah, asas pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan dan pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat manusia, dan terjaminnya hak tahanan untuk tetap berhubungan dengan keluarganya atau orang tertentu, serta hak-hak lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan salah satunya pembebasan tahanan demi hukum dalam mengatasi overstaying di dalam Lapas. Overstaying bukan hanya angka-angka yang tertera, melainkan juga menyangkut hak dasar dari seorang manusia yang belum memiliki putusan bersalah yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkrah) dari Pengadilan bahwa dia bersalah. Ketika hak tersebut dilanggar, maka bukan hanya bertanggung jawab dihadapan hukum, kita juga akan dimintai pertanggung jawaban dihadapan Tuhan Yang Maha Esa. KeywordsTahanan, koordinasi, pembebasan demi hukum, overstaying.
|
DOIhttps://doi.org/10.31604/jips.v9i6.2022.2321-2335 |
Article metrics10.31604/jips.v9i6.2022.2321-2335 Abstract views : 920 | PDF views : 638 |
Cite |
Full Text![]() |
References
Hamzah, DR. Andi. (2016). KUHP & KUHAP (Edisi Revisi). Jakarta: Rineka Cipta.
Reksodiputro, Mardjono. (1993). Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan Dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi). Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sunyoto, Danang. (2013). Metode Penelitian Akuntansi. Bandung: PT Refika Aditama Anggota Ikapi.
Ambo, Irmawati., et al. (2020). Analisis Pengeluaran Tahanan Demi Hukum. Male Law Jurnal. 4 (2): 198-212.
Harianto S., Robi, Mustafa Abdulla, dan Ruben Achmad. (2011). Kepastian Hukum Bagi Tersangka atau Terdakwa yang Dikeluarkan Demi Hukum (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIb Kuala Tungkal. Legalitas: Jurnal Hukum. 1 (4): 93-132.
Sanusi, Ahmad. (2020). Pengeluaran Tahanan Demi Hukum bagi Tersangka dalam Perspektif Hukum dan Hak Asasi Manusia. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum. 14 (3): 435-444.
Instruksi Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia., Menteri Kehakiman Republik Indonesia dan Jaksa Agung Republik Indonesia tanggal 25 Maret 1981.
Nomor: KMA/36/III/1981.
Nomor: M.01.PW.07.10.
Nomor: Instr.001/JA/3/1981.
tentang Peningkatan Tertib Penyidangan dan Penyelesaian Perkara-Perkara Pidana.
Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.03.UM.10.06 Tahun 1983 tentang Penetapan Lembaga Pemasyarakatan tertentu sebagai Rumah Tahanan Negara.
Refbacks
- There are currently no refbacks.